4.16.2008

Karakteristik Barang dan Jasa Publik

Dalam melakukan kegiatan sehari-hari manusia membutuhkan beragam barang dan jasa, baik yang bersifat primer, sekunder maupun tersier. Secara umum barang atau jasa yang dapat digolongkan kedalam kebutuhan primer antara lain air, udara, makanan, pakaian, dan tempat tinggal, dan lain-lain. Sedangkan pendidikan, kesehatan, buku, uang, alat komunikasi, transportasi, taman, rasa aman, asuransi, kartu identitas dan lain-lain dapat digolongkan kedalam barang atau jasa sekunder atau tersier. Kebutuhan barang atau jasa yang dimaksud dapat diperoleh dengan dengan cuma-cuma seperti udara atau dengan cara membeli seperti pakaian, rumah, dan lain-lain.

Setiap barang atau jasa dapat dikelompokkan berdasarkan karakteristiknya. Menurut Savas (1987 : 35), terdapat dua konsep penting yang perlu dilihat sebelum mengelompokkan barang dan jasa, yaitu: konsep exclusion (eksklusivitas) dan konsep consumption (konsumsi). Lebih jauh Savas mengatakan bahwa suatu barang memiliki keberagaman tingkat eksklusivitas dan tingkat konsumsinya. Barang atau jasa dapat dikatakan eksklusif jika barang tersebut diperoleh dengan terlebih dahulu memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan, misalnya seseorang harus membeli terlebih dahulu dapat memanfaatkannya. Barang atau jasa juga dapat dilihat dari segi pemanfaatannya atau dengan kata lain barang dan jasa memiliki karakteristik consumption. Suatu barang atau jasa dapat dikatakan memiliki tingkat joint consumption yang tinggi jika barang atau jasa tersebut dapat dikonsumsi bersama-sama secara simultan dalam waktu yang bersamaan (joint consumption) tanpa saling meniadakan manfaat (rivalitas) antara pengguna yang satu dan lainnya. Sedangkan untuk barang atau jasa yang hanya dapat dimanfaatkan oleh seseorang dan orang lain kehilangan kesempatan menikmatinya, maka barang atau jasa tersebut dikatakan memiliki tingkat joint consumption yang rendah.

Pengelompokkan barang atau jasa berdasarkan tingkat eksklusivitas dan tingkat pemanfaatannya juga didukung oleh Aronson (1997, 27) yang membedakan barang berdasarkan eksklusivitas dan rivalitasnya kedalam dua kategori, yaitu: public goods dan private goods. Lebih jauh dijelaskan melalui gambar sebagai berikut:

Garis horisontal menggambarkan tingkat rivalitas atau degree of jointness dan garis vertikal menunjukkan tingkat eksklusivitas. Keduanya menggunakan skala 0 (nol) sampai dengan 1 (satu). Semakin besar tingkat jointness (pemanfaatan secara bersama-sama) suatu barang atau jasa maka semakin kecil persaingan untuk mendapatkannya (nonrival). Sedangkan semakin besar tingkat eksklusivitas suatu barang atau jasa maka barang atau jasa tersebut dapat dikatakan semakin ekslusif.

Dalam gambar dicontohkan masalah pelayanan terhadap pertahanan keamanan mendekati titik A, karena pertahanan keamanan menjadi hak seluruh warga negara yang harus dilindungi tanpa terkecuali dan tidak perlu membayar untuk mendapatkannya. Sedangkan untuk siaran televisi, walaupun setiap orang bisa menikmatinya tetapi diperlukan sejumlah persaratan tertentu atau dengan membayar terlebih dahulu sebelum menikmati siarannya. Dalam kenyataannya jarang sekali ditemui barang atau jasa yang memiliki tingkat eklusifitas 1 (satu) dan tingkat rivalitasnya 0 (titik B) atau tingkat jointness 1 (satu) dan tingkat eksklusifitasnya 0 ( titik A).

Dalam gambar tersebut disimpulkan, bahwa semakin besar tingkat penggunaan secara bersama-sama (degree of jointness) dan semakin rendah tingkat eksklusivitas (degree of exclusion) suatu barang atau jasa maka barang tersebut lebih mendekati kategori barang publik (public goods), sedangkan sebaliknya, jika semakin kecil tingkat rivalitas (nonrival) dan semakin rendah tingkat eksklusifitasnya, maka barang atau jasa tersebut lebih mendekati kategori private goods.

Berbeda dengan Aronson yang hanya mengklasifikasikan barang dan jasa kedalam dua tipe yaitu public goods dan private goods, Savas (2000:45) mengklasifikasikan barang dan jasa menjadi empat kategori, yaitu: (1) individual goods; (2) toll goods; (3) common-pool goods; dan (4) collective goods. Individual goods sering disebut private goods dan collective goods sering juga disebut dengan public goods.

Jenis barang dan jasa berdasarkan karaketeristiknya

Easy to exclude

Difficult to exclude

Individual consumption

Individual goods

(e.g.: food, clothing, shelter)

Common-pool goods

(e.g., fish in the sea)

Joint consumption

Toll goods

(e.g., cable TV, telephone, electric power)

Collective goods

(e.g., national defense, felons)

Sumber : E.S. Savas, 2000:62 )

Lebih jauh Savas menjelaskan keempat klasifikasi tersebut, sebagai berikut: Pertama, barang dan jasa yang termasuk dalam individual goods atau sering disebut dengan privat goods tersedia melalui mekanisme pasar, baik dengan bentuk hak kepemilikan, sistem kontrak, pasar bebas, atau semua bentuk pasar lainnya yang dibutuhkan. Permintaan oleh konsumen terhadap barang-barang yang tergolong kedalam private goods biasanya disuplai melalui mekanisme pasar. Walaupun suplai private goods pada umumnya dilakukan melalui mekanisme pasar, tetapi untuk barang atau jasa tertentu pemerintah dapat juga mensuplainya, misalnya pengelolaan dana pensiun (the social security system).

Kedua, seperti juga private goods, toll goods dapat disuplai melalui mekanisme pasar, tetapi karena karakteristiknya yang sangat eklusif maka para pengguna harus membayar terlebih dahulu sebelum memanfaatkannya. Barang atau jasa yang termasuk ke dalam toll goods dapat dimiliki atau dibeli baik secara pribadi, kelompok yang berorientasi profit (swasta) dan kelompok yang bersifat non-profit (LSM). Contoh toll goods seperti ini adalah fasilitas rekreasi dan perpustakaan. Beberapa kasus terjadi dalam penyediaan barang dan jasa yang bersifat toll goods melalui mekanisme pasar monopoli. Di dalam sistem pasar monopoli, harga sangat ditentukan oleh jumlah pelanggan. Harga bertambah besar jika pelanggan semakin banyak. Namun hak monopoli seringkali disalah gunakan hanya untuk mencari keuntungan semata tanpa memperdulikan kwalitas dan kwantitas barang atau jasa layanan kepada pelanggan. Dibanyak negara, toll goods juga dapat disuplai oleh pemerintah sebagai salah satu alternatif layanan pemerintah kepada masyarakat.

Ketiga, Common-pool goods adalah barang atau jasa yang dapat diperoleh tanpa harus membayar dan/atau tanpa ada halangan yang berarti, contoh adalah ikan di laut. Mekanisme pasar tidak efektif jika digunakan untuk mensuplai barang-barang tersebut karena pemanfaatannya sangat bersifat individual dan mudah untuk mendapatkannya. Common-pool goods tidak diproduksi oleh para supplier (pemasok) melainkan tersedia dengan sendirinya secara alamiah.

Untuk mengatur dan menjamin ketersediaan barang-barang yang bersifat common-pool goods dalam waktu yang relatif lama maka ada tindakan-tindakan bersama (collective action) untuk mengatur secara tegas tentang batas-batas pemanfaatan dan cara-cara yang digunakan untuk memperoleh barang tersebut. Contoh-contoh tentang collective action seperti ini banyak dilakukan untuk melindungi hewan-hewan jenis tertentu yang sudah hampir punah.

Keempat, collective goods atau public goods selalu terkait dengan masalah pengorganisasian masyarakat. Barang atau jasa tersebut digunakan secara simultan oleh banyak orang dan seseorang tidak dapat menghalangi orang lain untuk memanfaatkannya. Oleh karena itu setiap orang memiliki peluang untuk menjadi free riders, yaitu orang yang menikmati barang atau layanan tetapi tidak ikut memberikan kontribusi apapun. Lalu dapatkah masyarakat menyediakan sendiri barang dan jasa tersebut?. Menjawab pertanyaan tersebut, Savas (2000 : 53) mengemukakan bahwa masyarakat dapat menyediakan sendiri kebutuhan akan barang atau jasa yang bersifat kolektif melalui voluntary action (kesukarelaan). Sedangkan untuk menghindari adanya free riders dibutuhkan kekuatan pemerintah untuk memberlakukan paksaan (kewajiban) kepada masyarakat untuk memberikan kontribusi. Contoh tindakan yang bersifat sukarela adalah untuk kegiatan pengamanan kebakaran dan penyediaan ambulan. Praktek-praktek seperti ini lebih ideal dilakukan di dalam komunitas yang sangat kecil diman unsur kekerabatan dan gotong royong masih sangat tinggi. Tetapi kegiatan sukarela ini akan menjadi lebih sulit pengaturannya ketika komunitas masyarakat semakin bertambah besar dan kebutuhan anggota komunitasnya semakin beraneka ragam. Public goods di dalam komunitas yang cukup besar dan relatif kompleks membutuhkan peralatan dan biaya yang relatif lebih banyak. Untuk itu diperlukan kontribusi dari masyarakat untuk mengatur penyediaannya, misalnya dengan menerapkan sistem pajak sebagai bentuk dari kontribusi dan hasil pengumpulannya digunakan untuk membiayai kegiatan tersebut. Disinilah peran pemerintah dibutuhkan untuk memfasilitasi kepatuhan masyarakat terhadap aturan-aturan dalam memberikan kontribusi, misalnya memberikan sangsi kepada masyarakat yang tidak taat pajak atau sebaliknya memberikan insentif kepada yang taat membayar pajak.

Masalah penyediaan public goods muncul karena sulitnya memperkirakan seberapa besar kebutuhan akan barang atau jasa yang perlu disediakan. Masalah lain yang terjadi juga disebabkan oleh sifat dari public goods yang digunakan secara kolektif, dimana seseorang hanya punya pilihan terbatas untuk mendapatkan layanan atau barang tersebut (public goods).

Disisi lain, pemerintah memiliki kesulitan dalam mengatur jumlah penarikan kontribusi secara langsung kepada para pengguna public goods, karena pembayaran tidak berhubungan langsung dengan permintaan maupun pemanfaatannya. Untuk itu diperlukan mekanisme pasar yang diatur melalui suatu proses politik yang dapat menentukan seberapa banyak public goods yang harus disediakan dan seberapa besar kontribusi yang harus dibayar oleh para pengguna baik melalui pajak, retribusi maupun bentuk-bentuk kontribusi lainnya.

Manfaat dari pengklasifikasian barang atau jasa seperti yang telah dikemukakan terdahulu mempermudah dalam menentukan pengaturan-pengaturan tentang institusi (lembaga) mana yang paling berperan dalam penyediaannya.

Mukhlis Abidi 2003

Iseng Iseng Yang Menghebohkan