4.26.2008

ASIA FUTURE SHOCK

KRISIS | GEJOLAK | PELUANG | KEGONCANGAN | ANCAMAN
Pertumbuhan ekonomi Cina, India, dan sebagian besar wilayah Asia lainnya benar-benar dahsyat. Belum pernah kawasan ini berubah begitu banyak dalam waktu yang begitu singkat. Namun, perubahan tidak selalu berarti peluang, tetapi juga sekaligus risiko. Dapatkah Anda memperkirakan apa yang akan terjadi di beberapa negara Asia di masa depan? Siapkah perusahaan Anda? Siapkah Anda? Prediksi-prediksinya mencengangkan...
  • Akankah Singapura menjadi Swiss-nya Asia Tenggara?
  • Apakah masa depan Indonesia semakin terpuruk?
  • Vietnam: Cina yang Baru?
  • Bagaimana dengan Malaysia dan Thailand?
  • Akankah Cina menjadi pengekspor utama senjata canggih?
  • Apakah yang akan terjadi saat air dan minyak di seluruh Asia makin menipis? Berapa lama lagi itu akan terjadi?
  • Bagaimana dengan populasi penduduk di Jepang dan Singapura dibandingkan dengan di India dan Cina?
  • Bagaimana nasib reaktor nuklir dunia di Asia?
  • Masih banyak pertanyaan penting lainnya yang akan dijawab di dalam buku ini...

Jalan Panjang Memupus Kedukaan

“Membaca karya ini, seperti mengarungi petualangan ke sebuah tempat yang tak seorang pun bisa bayangkan sungguh-sungguh ada di sana.” —The Washington Post “Buku Didion ini mendebarkan… sebuah buku yang hidup, tajam, dan tak terlupakan.” —The New York Times “Sebuah tindakan berani yang sempurna, sang penulis tahu bahwa penjelasannya mengizinkan kita untuk tahu apa yang ada dalam pikirannya saat diselimuti kabut kedukaan.” —TIME Magazine “Tak terpikir olehku bahwa kita membutuhkan buku selain ini… Aku tidak dapat membayangkan bagaimana menghadapi kematian orang yang kita cintai tanpa buku ini.” —John Leonard, The New York Review of Books

4.21.2008

Demokrasi Politik & Politik Desentralisasi Dede Mariana Caroline Paskarina Demokrasi dan desentralisasi adalah dua konsep yang saat ini tengah populer dalam wacana publik, khususnya di Indonesia. Demokrasi dan desentralisasi membawa perubahan signifikan dalam relasi kekuasaan menjadi lebih berimbang antara kekuasaan pusat dan daerah, maupun antara suprastuktur politik dengan infrastruktur politik. Isu-isu tentang politik budaya, politik ruang dalam penataan wilayah, pengelolaan sumber daya lokal, relasi pusat dan daerah, serta pengelolaan keuangan daerah menjadi isu baru yang berkembang dalam semangat demokratisasi dan desentralisasi dewasa ini. Membaca wacana yang berkembang tersebut, nyatalah bahwa ruang lingkup demokratisasi dan desentralisasi telah berkembang pesat. Memahami otonomi daerah tidak bisa sekedar menggunakan kacamata lokal, tapi juga kacamata global. Tidak bisa lagi memahami daerah secara parsial, tapi saling terkait dalam suatu kerangka regionalisme. Karena itu, dalam menterjemahkan demokrasi dan desentralisasi, diperlukan paradigma baru yang multiperspektif dan sistemik, sehingga berbagai inovasi dalam pembaharuan pemerintah daerah dapat terjamin kesinambungannya.

4.17.2008

Politik dan Kebijakan Publik

Penulis: LEO AGUSTINO Penerbit: AIPI Bandung dan Puslit KP2W LEMLIT UNPAD Tahun : 2007 Buku ini menyajikan secara lugas mengenai konsep-konsep dasar politik dan kebijakan publik yang dibutuhkan, di dalam konteks negara Indonesia yang sedang mengalami transisi demokrasi. Kebijakan publik diupayakan sebagai wahana untuk menciptakan keseimbangan antara state, market, dan civil society.Di dalam buku ini dibahas pemahaman dasar mengenai konsep politik, kebijakan publik, keterkaitan antara kekuasaan politik dan proses pengambilan keputusan, peran partai politik dan kelompok kelompok kepentingan dalam formulasi kebijakan publik, evaluasi dan dampaknya, serta bagaimana seharusnya kebijakan publik tersebut berfungsi. Persoalan tentang demokrasi, gender, dan konflik di dalam kebijakan publikpun turut dibahas dalam bagian-bagian akhir buku ini. Buku ini cocok untuk menjadi salah satu rujukan bagi mahasiswa, dosen, birokrat (aparatur pemerintah), para decision-makers (pengambil keputusan), dan masyarakat umum yang ingin mendalami studi kebijakan publik dalam perspektif politik.

4.16.2008

Karakteristik Barang dan Jasa Publik

Dalam melakukan kegiatan sehari-hari manusia membutuhkan beragam barang dan jasa, baik yang bersifat primer, sekunder maupun tersier. Secara umum barang atau jasa yang dapat digolongkan kedalam kebutuhan primer antara lain air, udara, makanan, pakaian, dan tempat tinggal, dan lain-lain. Sedangkan pendidikan, kesehatan, buku, uang, alat komunikasi, transportasi, taman, rasa aman, asuransi, kartu identitas dan lain-lain dapat digolongkan kedalam barang atau jasa sekunder atau tersier. Kebutuhan barang atau jasa yang dimaksud dapat diperoleh dengan dengan cuma-cuma seperti udara atau dengan cara membeli seperti pakaian, rumah, dan lain-lain.

Setiap barang atau jasa dapat dikelompokkan berdasarkan karakteristiknya. Menurut Savas (1987 : 35), terdapat dua konsep penting yang perlu dilihat sebelum mengelompokkan barang dan jasa, yaitu: konsep exclusion (eksklusivitas) dan konsep consumption (konsumsi). Lebih jauh Savas mengatakan bahwa suatu barang memiliki keberagaman tingkat eksklusivitas dan tingkat konsumsinya. Barang atau jasa dapat dikatakan eksklusif jika barang tersebut diperoleh dengan terlebih dahulu memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan, misalnya seseorang harus membeli terlebih dahulu dapat memanfaatkannya. Barang atau jasa juga dapat dilihat dari segi pemanfaatannya atau dengan kata lain barang dan jasa memiliki karakteristik consumption. Suatu barang atau jasa dapat dikatakan memiliki tingkat joint consumption yang tinggi jika barang atau jasa tersebut dapat dikonsumsi bersama-sama secara simultan dalam waktu yang bersamaan (joint consumption) tanpa saling meniadakan manfaat (rivalitas) antara pengguna yang satu dan lainnya. Sedangkan untuk barang atau jasa yang hanya dapat dimanfaatkan oleh seseorang dan orang lain kehilangan kesempatan menikmatinya, maka barang atau jasa tersebut dikatakan memiliki tingkat joint consumption yang rendah.

Pengelompokkan barang atau jasa berdasarkan tingkat eksklusivitas dan tingkat pemanfaatannya juga didukung oleh Aronson (1997, 27) yang membedakan barang berdasarkan eksklusivitas dan rivalitasnya kedalam dua kategori, yaitu: public goods dan private goods. Lebih jauh dijelaskan melalui gambar sebagai berikut:

Garis horisontal menggambarkan tingkat rivalitas atau degree of jointness dan garis vertikal menunjukkan tingkat eksklusivitas. Keduanya menggunakan skala 0 (nol) sampai dengan 1 (satu). Semakin besar tingkat jointness (pemanfaatan secara bersama-sama) suatu barang atau jasa maka semakin kecil persaingan untuk mendapatkannya (nonrival). Sedangkan semakin besar tingkat eksklusivitas suatu barang atau jasa maka barang atau jasa tersebut dapat dikatakan semakin ekslusif.

Dalam gambar dicontohkan masalah pelayanan terhadap pertahanan keamanan mendekati titik A, karena pertahanan keamanan menjadi hak seluruh warga negara yang harus dilindungi tanpa terkecuali dan tidak perlu membayar untuk mendapatkannya. Sedangkan untuk siaran televisi, walaupun setiap orang bisa menikmatinya tetapi diperlukan sejumlah persaratan tertentu atau dengan membayar terlebih dahulu sebelum menikmati siarannya. Dalam kenyataannya jarang sekali ditemui barang atau jasa yang memiliki tingkat eklusifitas 1 (satu) dan tingkat rivalitasnya 0 (titik B) atau tingkat jointness 1 (satu) dan tingkat eksklusifitasnya 0 ( titik A).

Dalam gambar tersebut disimpulkan, bahwa semakin besar tingkat penggunaan secara bersama-sama (degree of jointness) dan semakin rendah tingkat eksklusivitas (degree of exclusion) suatu barang atau jasa maka barang tersebut lebih mendekati kategori barang publik (public goods), sedangkan sebaliknya, jika semakin kecil tingkat rivalitas (nonrival) dan semakin rendah tingkat eksklusifitasnya, maka barang atau jasa tersebut lebih mendekati kategori private goods.

Berbeda dengan Aronson yang hanya mengklasifikasikan barang dan jasa kedalam dua tipe yaitu public goods dan private goods, Savas (2000:45) mengklasifikasikan barang dan jasa menjadi empat kategori, yaitu: (1) individual goods; (2) toll goods; (3) common-pool goods; dan (4) collective goods. Individual goods sering disebut private goods dan collective goods sering juga disebut dengan public goods.

Jenis barang dan jasa berdasarkan karaketeristiknya

Easy to exclude

Difficult to exclude

Individual consumption

Individual goods

(e.g.: food, clothing, shelter)

Common-pool goods

(e.g., fish in the sea)

Joint consumption

Toll goods

(e.g., cable TV, telephone, electric power)

Collective goods

(e.g., national defense, felons)

Sumber : E.S. Savas, 2000:62 )

Lebih jauh Savas menjelaskan keempat klasifikasi tersebut, sebagai berikut: Pertama, barang dan jasa yang termasuk dalam individual goods atau sering disebut dengan privat goods tersedia melalui mekanisme pasar, baik dengan bentuk hak kepemilikan, sistem kontrak, pasar bebas, atau semua bentuk pasar lainnya yang dibutuhkan. Permintaan oleh konsumen terhadap barang-barang yang tergolong kedalam private goods biasanya disuplai melalui mekanisme pasar. Walaupun suplai private goods pada umumnya dilakukan melalui mekanisme pasar, tetapi untuk barang atau jasa tertentu pemerintah dapat juga mensuplainya, misalnya pengelolaan dana pensiun (the social security system).

Kedua, seperti juga private goods, toll goods dapat disuplai melalui mekanisme pasar, tetapi karena karakteristiknya yang sangat eklusif maka para pengguna harus membayar terlebih dahulu sebelum memanfaatkannya. Barang atau jasa yang termasuk ke dalam toll goods dapat dimiliki atau dibeli baik secara pribadi, kelompok yang berorientasi profit (swasta) dan kelompok yang bersifat non-profit (LSM). Contoh toll goods seperti ini adalah fasilitas rekreasi dan perpustakaan. Beberapa kasus terjadi dalam penyediaan barang dan jasa yang bersifat toll goods melalui mekanisme pasar monopoli. Di dalam sistem pasar monopoli, harga sangat ditentukan oleh jumlah pelanggan. Harga bertambah besar jika pelanggan semakin banyak. Namun hak monopoli seringkali disalah gunakan hanya untuk mencari keuntungan semata tanpa memperdulikan kwalitas dan kwantitas barang atau jasa layanan kepada pelanggan. Dibanyak negara, toll goods juga dapat disuplai oleh pemerintah sebagai salah satu alternatif layanan pemerintah kepada masyarakat.

Ketiga, Common-pool goods adalah barang atau jasa yang dapat diperoleh tanpa harus membayar dan/atau tanpa ada halangan yang berarti, contoh adalah ikan di laut. Mekanisme pasar tidak efektif jika digunakan untuk mensuplai barang-barang tersebut karena pemanfaatannya sangat bersifat individual dan mudah untuk mendapatkannya. Common-pool goods tidak diproduksi oleh para supplier (pemasok) melainkan tersedia dengan sendirinya secara alamiah.

Untuk mengatur dan menjamin ketersediaan barang-barang yang bersifat common-pool goods dalam waktu yang relatif lama maka ada tindakan-tindakan bersama (collective action) untuk mengatur secara tegas tentang batas-batas pemanfaatan dan cara-cara yang digunakan untuk memperoleh barang tersebut. Contoh-contoh tentang collective action seperti ini banyak dilakukan untuk melindungi hewan-hewan jenis tertentu yang sudah hampir punah.

Keempat, collective goods atau public goods selalu terkait dengan masalah pengorganisasian masyarakat. Barang atau jasa tersebut digunakan secara simultan oleh banyak orang dan seseorang tidak dapat menghalangi orang lain untuk memanfaatkannya. Oleh karena itu setiap orang memiliki peluang untuk menjadi free riders, yaitu orang yang menikmati barang atau layanan tetapi tidak ikut memberikan kontribusi apapun. Lalu dapatkah masyarakat menyediakan sendiri barang dan jasa tersebut?. Menjawab pertanyaan tersebut, Savas (2000 : 53) mengemukakan bahwa masyarakat dapat menyediakan sendiri kebutuhan akan barang atau jasa yang bersifat kolektif melalui voluntary action (kesukarelaan). Sedangkan untuk menghindari adanya free riders dibutuhkan kekuatan pemerintah untuk memberlakukan paksaan (kewajiban) kepada masyarakat untuk memberikan kontribusi. Contoh tindakan yang bersifat sukarela adalah untuk kegiatan pengamanan kebakaran dan penyediaan ambulan. Praktek-praktek seperti ini lebih ideal dilakukan di dalam komunitas yang sangat kecil diman unsur kekerabatan dan gotong royong masih sangat tinggi. Tetapi kegiatan sukarela ini akan menjadi lebih sulit pengaturannya ketika komunitas masyarakat semakin bertambah besar dan kebutuhan anggota komunitasnya semakin beraneka ragam. Public goods di dalam komunitas yang cukup besar dan relatif kompleks membutuhkan peralatan dan biaya yang relatif lebih banyak. Untuk itu diperlukan kontribusi dari masyarakat untuk mengatur penyediaannya, misalnya dengan menerapkan sistem pajak sebagai bentuk dari kontribusi dan hasil pengumpulannya digunakan untuk membiayai kegiatan tersebut. Disinilah peran pemerintah dibutuhkan untuk memfasilitasi kepatuhan masyarakat terhadap aturan-aturan dalam memberikan kontribusi, misalnya memberikan sangsi kepada masyarakat yang tidak taat pajak atau sebaliknya memberikan insentif kepada yang taat membayar pajak.

Masalah penyediaan public goods muncul karena sulitnya memperkirakan seberapa besar kebutuhan akan barang atau jasa yang perlu disediakan. Masalah lain yang terjadi juga disebabkan oleh sifat dari public goods yang digunakan secara kolektif, dimana seseorang hanya punya pilihan terbatas untuk mendapatkan layanan atau barang tersebut (public goods).

Disisi lain, pemerintah memiliki kesulitan dalam mengatur jumlah penarikan kontribusi secara langsung kepada para pengguna public goods, karena pembayaran tidak berhubungan langsung dengan permintaan maupun pemanfaatannya. Untuk itu diperlukan mekanisme pasar yang diatur melalui suatu proses politik yang dapat menentukan seberapa banyak public goods yang harus disediakan dan seberapa besar kontribusi yang harus dibayar oleh para pengguna baik melalui pajak, retribusi maupun bentuk-bentuk kontribusi lainnya.

Manfaat dari pengklasifikasian barang atau jasa seperti yang telah dikemukakan terdahulu mempermudah dalam menentukan pengaturan-pengaturan tentang institusi (lembaga) mana yang paling berperan dalam penyediaannya.

Mukhlis Abidi 2003

Urgensi Privatisasi Pelayanan Publik

Peran swasta dalam sektor publik semakin terasa dan dibutuhkan, mengingat keterbatasan yang dimiliki oleh pemerintah baik dari segi biaya, sumber daya manusia maupun teknologi dalam memberikan layanan kepada masyarakat. Faktor-faktor inilah yang membawa pemerintah mencari alternatif lain guna memperkecil terjadinya inefisiensi, dan mengatasi keterbatasan sumberdaya manusia baik kapasitas manajemen maupun jumlahnya.

Salah satu cara yang paling populer dan banyak digunakan dinegara-negara maju adalah dengan melakukan privatisasi. Privatisasi merupakan suatu pengalihan fungsi, aktivitas dan tanggung jawab dari pemerintah kepada pihak swasta. Dengan demikian peran pemerintah secara berangsur akan semakin berkurang, kecuali untuk menentukan standar-standar yang mengedepankan efisiensi, efektivitas, tanggung jawab, kesetaraan yang memerlukan kejelasan dan ketegasan tetap menjadi kendali pemerintah.

Disisi lain privatisasi bukan semata-mata hanya pengalihan dari sektor publik ke swasta tetapi “... harus dilihat dalam konteks yang lebih luas tentang apa yang pemerintah lakukan dan bagaimana hal itu dilakukan (ILO, 2001:28). Kecenderungan yang ada sekarang, masalah privatisasi terkait dengan dimensi-dimensi teknologi, ekonomi, politik, lingkungan, sosial dan budaya. Dimensi-dimensi tersebut memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap perubahan struktur dan hubungan antara pemerintah dan pasar, termasuk perubahan struktur dan organisasi pelayanan publik. Kecendrungan privatisasi di negara-negara maju sangat bervariasi. Hal ini tampak dalam tabel dibawah ini.

Trends in privatization in selected industrialized countries

Country

Trend

Austria

Partial/complete sales of companies in banking, oil & gas, Railways, post & electricity being restructure

Belgium

Privatization of companies in banking & insurance. Publik utilities have become “autonomous public enterprise” (telecommunications, post, rail)

Canada

Privatization of firms in transport (rail, air) and telecommunications. Contracting out of catering, building maintenance and specialist functions in health care (e.g. computer services)

Denmark

Privatization of firms in banking & transport, Corporatization of Conpenhagen airport, post & state shipping liners. Limited contracting out of municipal services (e.g. care of the elderly)

Finland

Corporatization of railways, post, air traffic, banking. Privatization/partial privatization of power generation, telecommunications & air traffic.

France

Extensive privatization of companies in banking, etc. Partial sales of France Telecom & Air France. Long tradition of contracting out in the water industry& being extended to hospitals (catering, cleaning, pathology)

Germany

Privatization of firms in automobiles chemicals & of former East Germany state-owned enterprises. Partial privatization in telecomunications. Liberalization of energy and post. Contracting ot of rubbish collection & street cleaning at federal state and municipal levels. Plans to outsource aspects of defence procurement.

Greece

Some privatization in competitive sectors. Privatization of public utilities under debate

Ireland

Privatization of Telcom Eireann. Further privatiozation of public utilities under discussion

Italy

Privatization of banks & insurance companies. Some contracting out of welfare services at local level

Netherlands

Privatization of banking, chemicals, steel companies & public utilities (post, telecommunications, regional transport companies, energy)

New Zealand

Privatization of many state enterprises, purchaser/provider split in health and corporatization of hospotals (Crown Health Enterprises), decentralized bargaining via Employment Contracts Act)

Portugal

Privatization in competitive sectors & utilities (e.g. telecommunications) & some privatization of welfare services (hospitas under private management)

Spain

Privatization of iron & steel, textiles & chemicals and public utilities (electricity, transport, telecommunications). Contracting put has spread to highway maintenance and in the hospital sector.

Sweden

Corporatization of state-owned enterprises & some privatization of care for the elderly at municipal level

United Kingdom

Almost complete privatization of state enterprises and utilities (except post). Extensive contracting out of cleaning, catering & refuse collection across the public sector and obligation on local authoities to achieve “best value.

United States

Limited sales of state assets due to small size of state sector. Contractingout at municipal level

Sumber : S. Bach: Decentralization and privatization in municipal services: The case of health services. Sectoral Activities Programme Working Paper (Geneva, ILO, 2000) p/ 10.

Pelaksanaan privatisasi di negara-negara maju diyakini telah berhasil memperkecil pemborosan terutama dalam masalah keuangan. The public has become increasingly less prepared to tolerate public service inefficiencies, poor quality, rigidity and lack of responsiveness.(ILO, 2001:28). Walaupun privatisasi digunakan sebagai salah satu cara untuk mengatasi masalah kelangkaan finansial, tetapi ada pendapat lain menganggap bahwa privatisasi dalam pelayanan publik tidak hanya disebabkan adanya masalah-masalah kelangkaan sumber-sumber ekonomi, tetapi juga diakibatkan karena adanya perubahan budaya. Privatization has been further driven by technological change, an investment shortfall in public services, problem of public finance, environmental pressures and globalization. ILO(2001:28)

Desakan untuk melakukan privatisasi juga menjadi perhatian pemerintah dalam memberikan layanan. Pelayanan publik di negara-negar berkembang seperti Indonesia selama ini didominasi oleh pemerintah, dan biasanya dilakukan oleh unit-unit pemerintahan baik ditingkat pusat maupun di daerah. Namun sedikit sekali usaha-usaha untuk memperbaiki kualitas layanan dengan memperhatikan kebutuhan, permintaan dan keinginan masyarakat. Dengan pendekatan seperti itu, pelayanan publik biasanya diberikan secara cuma-cuma atau dengan bantuan pemerintah berupa subsidi. Krisis ekonomi yang melanda bangsa-bangsa di Asia termasuk Indonesia, juga telah mendorong pemerintah untuk lebih efisiens dalam menggunakan sumber daya yang dimiliki, tanpa mengurangi kualitas layanannya. Beberapa negara melakukannya melalui privatisasi layanan publik. Selain untuk menekan biaya layanan dan biaya administrasi, privatisasi layanan publik juga dilakukan untuk menstimulir pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan tenaga kerja terutama di sektor swasta.

Namun demikian pelaksanaan privatisasi diberbagai negara dipandang sangat bervariasi tergantung dari bagaimana privatisasi itu didefinisikan dan apa tujuannya. Pendapat para pakar tentang privatisasi juga sangat beragam, misalnya John Wilson menjelaskan definisi privatisasi yang terjadi di Inggris, dalam buku Public Services & The 1990s, dengan menggambarkan konsep denationalisation (denasionalisasi) dan liberalisation (liberalisasi). Denasionalisasi diartikan sebagai pelimpahan kepemilikan dari sektor publik ke swasta baik sebagian maupun keseluruhan, sedangkan liberalisasi bertujuan untuk menciptakan iklim kompetisi dalam penyediaan layanan publik. Pentingnya penciptaan pasar dan iklim kompetisi yang sehat dalam layanan publik dikemukakan oleh Wegner (1997:2) dimana unsur penting dalam gerakan New Public Management (NPM) yang mempengaruhi modernisasi pada sektor publik. Tuntutan untuk segera melakukan kompetisi dalam sektor publik dilatar belakangi dari masa lalu pemerintah daerah yang sering mendapat tuduhan karena produksi dan distribusi pelayanannya tidak efisien, kurang berorientasi pada pelanggan dalam hal ini masyarakat, dan tidak efektif. Gerakan untuk memodernisasikan sektor publik juga dipengaruhi oleh asumsi-asumsi tentang keuntungan pengaturan pasar agar terjadi kompetisi yang sehat melalui pendekatan public choice.

Menurut Wegner (1997:2), secara umum kompetisi memiliki sedikitnya lima fungsi utama, yaitu: 1) kompetisi memaksa produsen untuk bertindak fleksible; 2) kompetisi akan mendorong terjadinya inovasi untuk bersaing dalam situasi pasar yang sangat berubah; 3) kompetisi akan mempengaruhi sisi suplai karena adanya pilihan-pilihan bagi pelanggan; 4) kompetisi akan mempengaruhi sistem produksi; dan 5) kompetisi akan mempengaruhi distribusi income.

Berbagai pendapat yang berkembang menganggap kompetisi adalah upaya untuk memprivatisasi pelayanan publik, untuk mengurangi monopoli dengan memindahkan monopoli sektor publik yang selama ini dikuasai oleh pemerintah kepada sektor swasta. Hal inilah yang mendorong Wolf dan Picot (1994:78) membuat suatu pendekatan pelayanan umum berdasarkan pada biaya transaksi dengan menggunakan kriteria specificity dan strategic relevance, sebagai berikut:

High

D

A

Specificity

C

B

low

High

Strategic

Argumentasi secara umum dapat dikatakan bahwa pelayanan yang kurang strategis dan kurang spesifik (bidang C) harus di sewakan (contracting out), misalnya untuk kebersihan kantor. Pelayan yang spesifik dan sangat strategis (A) harus ditangani sendiri, misalnya masalah pertahanan keamanan. Untuk pelayanan yang spesifik tetapi kurang strategis atau yang strategi tapi kurang spesifik (B dan D) ada banyak kemungkinan pilihan.

Lebih jauh Picot dan Wolf menjelaskan, bahwa:

a. Pelayanan publik yang sangat spesifik dan strategis (kotak A) perlu diproduksi sendiri (secara internal);

b. Pelayanan publik dengan spesifisitas rendah tetapi strategis (kotak B) maka perlu diatur melalui peraturan perundang-undangan agar terjamin produksinya;

c. Pelayanan publik yang memiliki tingkat spesifisitas dan strategisnya rendah (kotak C) perlu diproduksi oleh produsen-produsen swasta melalui mekanisme pasar;

d. Pelayanan publik dengan sfesifitas tinggi dan kurang strategis (kotak D) perlu dikerjasamakan dengan pihak profesional dari luar.

Disamping menyangkut masalah produksi dan distribusi pelayanan publik, kompetisi juga bisa dilihat dari bentuk dan situasi pasar, yaitu pasar monopoli, oligopoli, struktur pasar pluralis dan industri produksi massal. Picot dan Wolff mengembangkan suatu model keputusan untuk mengintegrasikan situasi pasar. Tiga alternatif utama untuk mengambil keputusan yaitu: make, buy, dan competition. Asumsinya bahwa struktur pasar pluralistik lebih mungkin untuk berhubungan dengan jasa atau barang yang kurang spesifik dan kurang strategis. Struktur oligopolistik lebih mungkin untuk ditemukan dalam pelayanan-pelayanan yang spesifik dan strategis. Struktur pasar menentukan pengaruh-pengaruh kompetisi, oligopolistik memerlukan hubungan-hubngan yang legal yang lebih kompleks. Khususnya di pasar oligopoli dengan akses terbatas kepada produsen, klien tertarik untuk membangun kemitraan strategis jangka panjang. Disini zona abu-abu dimulai, dimana bentuk-bentuk selain kompetisi pasar dapat ditemukan, khususnya dalam sistem produksi pemerintah lokal. Quasi market, yang memakai persamaan-persamaan yang artifisial namun fungsional dengan mekanisme pasar, bisa mengkoordinasikan produksi pelayanan untuk pelayanan-pelayanan yang tinggi dalam relevansi strategis atau tinggi dalam spesifitas. Pelayanan make yang adalah monopoli tidak memungkinkan bentuk-bentuk kompetisi pasar eksternal karena relevansinya untuk sebuah organisasi. Dalam hal ini unsur-unsur kompetitif non-pasar adalah umum. Tersedianya pelayanan dan relevansinya bagi sebuah organisasi menentukan relasi-relasi klien kontraktor yang berbeda antara anonim dan terkoordinasi. Tipe-tipe atau hubungan-hubungan ini yang relatif terhadap situasi pasar, spesifitas dan relevansi strategis barang dan jasa dapat dilihat dengan jelas pada industri otomobil.

Tujuan dilakukannya privatisasi dalam pelayanan publik juga sangat bervariasi tergantung motivasi dan kondisi suatu negara. Vickers dan Yarrow merangkum tujuan privatisasi sebagai berikut:

(i) improve efficiency;

(ii) reduce the public sector borrowing requirement;

(iii) reduce government involvement in enterprise decision-making;

(iv) case problems of public sector pay determination;

(v) widen share ownership;

(vi) encourage employee share ownership;

(vii) gain political advantage.

Vickers dan Yarrow (1988 :157),

Dari ketujuh tujuan yang sudah diutarakan tersebut, Wilson menambahkan bahwa tujuan privatisasi juga untuk meningkatkan profit melalui diversifikasi dan dengan memberikan kesempatan perubahan kebijakan fiskal (pemotongan pajak, atau barang kali, menambah pengeluaran untuk sektor public), dengan demikian meningkatkan efisiensi tetap menjadi perhatian utama.

Bagi pemerintah, tujuan privatisasi layanan publik adalah untuk mengurangi beban atas biaya-biaya administratif dan beban keuangan pemerintah atas layanan yang diberikan. Selin itu juga privatisasi ditujukan agar tercapainya efektivitas dan produktivitas administrasi publik. Sejalan dengan itu, Savas (2000 : 119) menyimpulkan tujuan privatisasi layanan publik di negara-negara berkembang, sebagai berikut:

· Memperkecil beban biaya pemerintah

· Meningkatkan pendapatan baik dengan menjual asset maupun melalui pajak

· Memperkecil hutang pemerintah

· Penyediaan infrastruktur atau fasilitas lainnya yang tidak dapat dilakukan oleh pemerintah

· Memperkenalkan keahlian khusus yang memerlukan teknologi tinggi

· Inisiatif atau mengembangkan pelayanan yang cepat

· Memperkecil campur tangan pemerintah secara langsung dalam masalah ekonomi

· Memperkecil peran pemerintah dalam kehidupan bermasyarkat (dengan membangun dan memperkuat peran masyarkat sipil)

· Menyelaraskan pembangunan ekonomi

· Desentralisasi ekonomi dan memperluas kepemilikan aset-aset ekonomi

· Menunjukkan komitmen terhadap liberalisasi ekonomi dan meningkatkan kepercayaan bisnis

· Mempromosikan pengembangan pasar modal (dengan menciptakan dan menjual saham)

· Menarik investor baik domestik maupun asing dan meninkatkan return of flight capital

· Memuaskan lembaga donor

· Meningkatkan standar kehidupan

· Mendapatkan dukungan

· Kepentingan politik

· Memperkecil lawan politik

Sedangkan bagi masyarakat, privatisasi bertujuan untuk memberikan akses yang besar bagi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang lebih bermutu dengan biaya yang dapat dijangkau. Dengan privatisasi berarti dimungkinkan adanya kompetisi dalam layanan publik yang pada akhirnya masing-masing kompetitor akan berusaha semaksimal mungkin meningkatkan pelayanannya dan selalu mempertimbangkan keterjangkauan biaya layanan.

Namun untuk mencapai tujuan yang diinginkan, privatisasi perlu memperhatikan berbagai kondisi yang ada baik dari segi ekonomi, politik, sumberdaya yang dimiliki oleh sutau negara atau pemerintah daerah. Dan yang juga penting adalah dengan cara apa privatisasi itu dilakukan.

Mukhlis Abidi, 2004

PELATIHAN BERBASIS ON-LINE SEBAGAI UPAYA INOVATIF DALAM RANGKA MEWUJUDKAN PEGAWAI NEGERI DI DAERAH YANG BERKUALITAS

Seiring dengan kebijakan otonomi daerah maka pegawai negeri sipil yang memiliki basis di daerah diintegrasikan ke pemerintah daerah. Segala urusan yang berkenaan dengan pegawai negeri di daerah menjadi tanggung jawab daerah dari mulai perekrutan, pembinaan, penggajian, dan pelatihan.

Dalam bidang pelatihan daerah kini mempunyai kewenangan untuk melakukan pelatihan sendiri sesuai dengan kebutuhan di Daerah. Maka pendirian diklat-diklat di Daerah dimasa datang mungkin bukan sesuatu hal yang mengejutkan. Sementara itu lembaga diklat pusat akan sulit memaksakan pelayanannya kepada daerah untuk mengikuti latihan-latihan yang dilakukan oleh Departemen-departemen terkait. Sekarang ini banyak pemerintah daerah yang merasakan sistem pelatihan selama ini tidak responsif terhadap perkembangan dan kebutuhan daerah. Diklat fungsional yang dulunya terpusat di Departemen akan beralih kepada diklat di Propinsi.

Pendidikan dan pelatihan yang dilakukan oleh Pusat seharusnya segera merubah strategi, sistem dan bentuknya sehingga pelatihan-pelatihan yang dilakukan oleh Pusat tetap diminati oleh daerah karena Pendidikan dan pelatihan yang dilakukan oleh Pusat tetap memiliki arti penting, paling tidak ada dua dimensi dari pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah Pusat. Pertama, dimensi pemerataan peningkatan standar kemampuan pegawai negeri di daerah. Standar kompetensi untuk pegawai negeri ini sangat penting terutama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Misalnya kemampuan pejabat eselon IV di Sorong, seharusnya sama atau hampir sama dengan kemampuan eselon IV di Surabaya. Standar kemampuan ini penting karena akan berujung pada pelayanan yang bermutu, dimana masyarakat akan mendapat perlakuan yang kurang lebih sama jika dilayani oleh pemerintah daerah di tempat yang berbeda. Kedua, dimensi perekat, dimana PNS merupakan faktor yang cukup kuat jika digunakan sebagai alat perekat negara kesatuan Republik Indonesia. Karir PNS tidak dibatasi oleh sekat-sekat kedaerahan tetapi setiap PNS memiliki akses untuk pindah dari satu tempat ke tempat lain selama itu dibutuhkan.

Saat ini pelatihan yang diselenggarakan pemerintah Pusat seharusnya tetap dipertahankan, karena masih sangat diperlukan oleh daerah-daerah, terbukti diklat-diklat yang diselenggarakan oleh departemen-departemen di Pusat masih diminati oleh pegawai daerah. Tetapi disisi lain daerah merasakan beratnya biaya yang harus ditanggung untuk mengikuti pelatihan-pelatihan yang diadakan di Pusat atau di jakarta. Untuk itu Pusat sebaiknya memikirkan langkah inovatif untuk melakukan perubahan managemen pelatihan lebih baik. Salah satu cara adalah dengan menerapkan pelatihan berbasis on-line.

Paradigma Baru tentang Pelatihan

Sistem pelatihan yang berbasis on-line didasarkan karena terjadinya proses transformasi ke dalam paradigma baru tentang pelatihan. Terdapat lima area transformasi yang saat ini terjadi, yaitu :

Pertama, transformasi dari training ke performance (from training to performance). Transformasi yang pertama ini menganggap pelatihan lebih difokuskan kepada out come. Para pelatih sangat bertanggung jawab terhadap hasil yang dicapai; mereka harus bisa diaplikasikan dalam pekerjaannya yang pada akhirnya akan menguntungkan organisasi.

Kedua, transformasi yang kedua adalah dari di dalam kelas ke kapan saja dan dimana saja (from the classroom to anytime… anywhere). Waktu dan tempat latihan tidak lagi dibatasi, karena proses pelatihan dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja dibutuhkan. Hal ini sangat membantu baik bagi para trainers maupun trainee yang sangat sulit meninggalkan waktunya beralama-lama. Karena peserta pelatihan dapat mengatur waktunya sendiri dan bisa dilakukan di rumah, kantor, atau di hotel dll.

Ketiga, transformasi dari fasilitas fisik ke fasilitas jaringan. Fasilitas fisik seperti ruangan, peralatan presentasi, projector dll diganti dengan sistem jaringan yang berbasis on-line, dapat berbasis internet maupun intranet.

Keempat, transformasi lainnya adalah from cycle time to real time. Lama pelatihan tidak lagi dibatasi oleh jumlah hari atau jam, tetapi sangat tergantung dari kemampuan peserta pelatihan untuk mengakses pelatihan, dapat dilakukan secara cepat maupun lambat.

Sistem pelatihan berbasis on-line

Pelatihan berbasis on-line adalah proses learning yang menggunakan teknologi online baik berupa website, internet maupun intranet yang menyediakan berbagai solusi untuk berbagai pemecahan masalah dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan kinerja.

Pelatihan online berlandaskan kepada tiga kriteria utama, yaitu:

1. Pelatihan on-line adalah jaringan yang dibuat dengan berbagai kemudahan untuk selalu di update, mudah untuk didistribusikan dan digunakan untuk saling tukar pengetahuan dan informasi.

2. Pengetahuan dan informasi dikirim dan tersedia dengan menggunakan standar teknologi internet,

3. Fokus pelatihan on-line didasarkan pada pandangan yang luas tentang learning itu sendiri.

Proses Pelatihan berbasis on-line dalam pemerintahan daerah

Pesatnya jumlah pengguna komputer dan internet di Indonesia sudah semakin terdistribusi dengan baik, bukan saja di kalangan bussiness tetapi juga dikalangan organisasi birokrasi. Bahkan sebagian besar pemerintah daerah telah memiliki situs website untuk menampilkan potensi yang mereka miliki dalam rangka memikat investor baik dalam maupun luar negeri.

Namun sejauh ini pemanfaatan teknologi baik website maupun internet belum dilakukan secara optimal, bahkan website yang ada tidak pernah diupdate, internet yang seharusnya dapat dimanfaatkan dengan baik hanya menjadi formalitas bahwa di dalam organisasi tersebut telah terinstall internet.

Pemerintah Pusat harusnya melihat infrastruktur yang ada ini untuk dimanfaatkan sebagai basis untuk melakukan pelatihan-pelatihan bagi pegawai negeri di daerah. Konsep pelatihan yang berbasiskan pada internet ini memiliki beberapa keunggulan terutama cost yang harus dikeluarkan oleh pemerintah daerah yang selama ini dikeluhkan karena terlalu mahal.

Pelatihan ini memadukan berbagai konsep pelatihan berbasiskan sistem on-line untuk memungkinkan para peserta secara mudah untuk mengaksesnya. Tetapi konsep ini bisa disesuaikan dengan kebutuhan yang ada. Langkah-langkah yang perlu dilakukan oleh pemerintah pusat melalui departemen antara lain :

1. Membuat website khusus untuk pelatihan pegawai maupun pejabat pemerintah daerah;

2. Website tersebut berisi tentang manfaat, instruksi penggunaan, website, biodata pelatih, materi pelatih dan informasi lainnya yang mendukung.

3. Pendaftaran peserta bisa dilakukan secara online dan pembayarannya dapat dilakukan dengan transfer melalui bank yang ditunjuk;

4. Setelah peserta mendaftarkan diri maka penyedia training memberikan password pribadi untuk dapat mengakses website lebih lanjut;

5. Agar terjadi komunikasi dua arah, maka fasilitas website dapat di lengkapi dengan camera, atau dengan fasilitas website yang menyediakan formulir untuk bertanya ataupun menanggapi materi yang telah diberikan.

Keunggulan sistem pelatihan berbasis on-line

Beberapa keunggulan dari sistem pelatihan berbasisi on-line antara lain :

1. Pelatihan ini lebih menghemat biaya, karena peserta tidak perlu hadir ke tempat penyelenggaraan, cukup dengan duduk didepan komputer dan mengaksesnya. Biaya perjalanan dinas, sewa kamar hotel dan biaya-biaya lainnya dapat dialihkan untuk kebutuhan lainnya;

2. Proses belajar mengajar dapat dilakukan kapan saja baik pada saat jam kantor maupun pada saat dirumah, diperjalanan maupun dari mana saja selama tersedianya fasilitas internet;

3. Jumlah peserta tidak terbatas, sehingga tidak lagi menunggu giliran siapa yang akan mengikuti pelatihan terlebih dahulu;

4. Sumber dana yang didapat oleh pemerintah selain dari peserta pemerintah (penyelenggara) bisa mengundang iklan dalam websitr tersebut.

5. Bagi pemerintah pusat (departemen) dengan sendirinya juga mengurangi biaya biaya perjalanan para pelatih. Selama ini para pelatih kebanyakan adalah pejabat-pejabat birokrasi yang menduduki eselon tertentu. Dengan sistem ini maka para pelatih tidak perlu berlama-lama meninggalkan tugas lainnya. Karena para pelatih bisa saja mengakses dan menjawab secara langsung pertanyaan-pertanyaan dari para peserta.

Empat Hal sebagai pendukung kesuksesan pelatihan berbasis on-line

Kesuksesan pelatihan berbasis training harus didukung oleh infrastruktur jaringan yang baik, sistem jaringan yang cepat dan baik menggunakan kabel, maupun satelit. Namun hal ini saja tidak cukup untuk mendukung terciptanya sistem latihan berbasis on-line yang baik tanpa didukung oleh beberapa hal yaitu antara lain :

Budaya

Budaya kerja diyakini sebagai faktor penting untuk terwujudnya suatau program kegiatan. Untuk itu budaya yang diperlukan adalah budaya yang tidak gagap terhadap teknologi. Organisasi harus terus menerus menciptakan budaya yang kondusif untuk belajar. Budaya belajar terus ditingkatkan, karena belajar adalah proses yang dapat dilakukan dimana saja, baik disekolah, dirumah, dikantor maupun diluar kesemuanya itu.

Kepemimpinan

Tanpa didukung oleh pemimpin yang juga interest terhadap program pelatihan berbasis training maka pelatihan ini tidak akan berjalan dengan baik. Pemimpin tidak saja menganjurkan tetapi juga mencontohkan dengan baik penggunaan fasilitas pelatihan berbasis on-line dengan baik.

Komunikasi

Hal penting lainnya dalam mewujudkan pelatihan berbasis on-line dengan baik, maka perlu dibangun komunikasi dua arah baik sesama peserta training maupun peserta pelatihan dengan para pelatih.

Perubahan

Perubahan merupakan kata kunci sukses lainnya yang harus diyakini. Bahwa perubahan itu adalah abadi karena kita tidak bisa tetap berada pada kondisi status quo, perubahan harus terus diupayakan untuk merespon berbagai permasalahan yang ada disekitar kita, termasuk perubahan sistem pelatihan.

Penutup

Konsep training berbasis pada sistem on-line ini merupakan hal yang sulit untuk dilaksanakan, tetapi perkembangan teknologi terutama teknologi informasi merupakan sesuatu yang tidak dapat dihalang-halangi. Dengan teknologi itulah kita dapat mendapat keuntungan yang luar biasa baik dari sisi pengetahuan maupun budaya. Perubahan akan terjadi seiring dengan perkembangan teknologi itu sendiri.

Untuk itu diperlukan sumber daya manusia yang hadal yang mampu menghadapi berbagai perubahan dan tuntutan lingkungan yang terjadi begitu cepat.

Kiranya perlu suatu kesungguhan dari pemerintah baik di Pusat maupun di Daerah agar terus menerus meningkatkan kwalitas sumber daya manusia demi terselenggaranya penyelenggaraan pemerintah yang baik dalam melayani masyarakat.

Sistem pelatihan berbasis on line ini merupakan suatu konsep yang masih perlu dirinci dan didiskusikan lebih lanjut.

Jakarta, 30 Mei 2002

Mukhlis Abidi

Iseng Iseng Yang Menghebohkan